Contoh Makalah Hadist Tarbawi tentang Tingkah Laku Tercela

TINGKAH LAKU TERCELA
                         
1.      Hadits Tentang Buruk Sangka
Hadits ke-1660 Kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan (اللؤلؤ والمرجان  )
حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ ر.ض : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنِّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا.
أخرجه البخارى في: 78. كتاب الأدب

Artinya: “Hadits Abu Hurairah r.a.: Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Berhati-hatilah kalian dari buruk sangka, sesungguhnya buruk sangka adalah sedusta-dustanya cerita/berita. Janganlah menyelidiki, janganlah memata-matai hal orang lain, janganla tawar-menawar untuk menjerumuskan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara.”
  (Diriwayatkan Imam Bukhori, 78. Kitab Adab)

       Buruk sangka adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek tanpa adanya sebab yang jelas yang memperkuat sangkaannya. Orang yang melakukannya berarti telah berbuat dosa, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:


يا أيها الذين أمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari prasangka itu dosa. (Q.S. Al-Hujurat: 12)

         Buruk sangka dinyatakan Nabi SAW sebagai sedusta-dustanya ucapan. Apalagi kalau berburuk sangka tersebut terhadap masalah aqidah yang harus diyakini apa adanya. Buruk sangka dalam masalah ini adalah haram. Sebaliknya berburuk sangka terhadap masalah-masalah kehidupan agar memiliki semangat untuk menyelidikinya adalah dibelehkan.

2.Adab duduk duduk di pinggir jalan
A.Menyingkirkan Penarung ( penghalang )
Sabda Rasul saw :
قالـ رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أماط أذى عن طريق المسلمين كتبت له حسنة ومن تقبلت منه حسنة دخل الجنة (رواه البخارى عن معقل بن يسار)
Artinya :
“Barangsiapa yang menjahkan (menyingkirkan) sesuatu yang menyakitkan (penarung) dari jalan yang dilalui orang-orang Islam , akan dicatat sebagai suatu kebaikan. Dan barangsiapa yang diterima dari amal kebaikannya, maka ia akan masuk syurga”. (HR. Bukhari dari Maqil bin Yasar)
  Menyingkirkan penarung yang  menyebabkan kesakitan atau penghalang yang dilalui orang Islam  untuk menuju kepada hal yang baik itu akan dicatat sebagai suatu amak kebaikan. Hal itu tergantung niat dalam hatinya, apakah ia lakukan dengan ihlas atau hanya ria kepada manusia, inilah penilaian dari Allah   yang dapat tidaknya amal itu diterima yang kelak dikemudian hari akan memasukannya kedalam syurga.
  Juga pendapat lain menyingkirkan penarung dijalan dianggap sebagai jihad fisabilillah
  Disamping itu juga nabi memberikan gambaran tentang hal yang mesti dilakukan seseorang disamping jalan atau ketika berjalan. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا : مَالَنَابُدٌّ إِنَّمَاهِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدُّثُ فِيْهَا قَالَ :  فَإِذَاأَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيْقَ حَقَّهَا. قَالُوْا : وَمَاحَقُّ الطَّرِيْقِ ؟ قَالَ : غَضُّ لْبَصَرِ وَكَفُّ اْلأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ. (رواه البخارى ومسلم وأبوداود)
Artinya :
“Dari  abu sa’id al-khudry ra ia berkata dan rasulullah saw bersabda: “hati-hatilah kalian ketika duduk dijalan, mereka berkata: apa yang  mesti kami takuti sedangkan jalan adalah tempat kami duduk dan berbincang-bincang? Nabi menjawab: jika kalian datang ke suatu majlis maka berikanlah jalan dengan hak: mereka bertanya: apa hak dijalan? Menundukan pandangan, tidak menyakiti, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”. (HR. bukhari dan muslim) kitab al lu’lu wal marjaan

3.Ghibah

         Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.
         Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan  Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:
بَعْضًا بَعْضُكُمْ يَغْتَبْ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا إِثْمٌ الظَّنِّ بَعْضَ إِنَّ الظَّنِّ مِنَ كَثِيرًا اجْتَنِبُوا آمَنُوا الَّذِينَ  أَيُّهَا يَا  رَحِيمٌ  تَوَّابٌ اللَّهَ إِنَّ لَّهَ لاوَاتَّقُوا مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ أَخِيهِ لَحْمَ يَأْكُلَ أَنْ أَحَدُكُمْ يُحِبُّ أَ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)
 Namun tidak semua bentuk ghibah di haramkan ada sebagian ghibah yangdibolehkan atau bahkan disyari’atkan.
 Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor.
 Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan.    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana  dalam sabdanya. "Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya". (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami'. 6238)
  Nabi Muhammad yang telah bersabda yang artinya:
            
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  Beberapa ulama membolehkan ghibah untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut
4.Berlaku boros
Al-Ragib berkata, “Isrof adalah melampui batas dalam segala perbuatan yang kerjakan oleh manusia sekalipun hal tersebut lebih mashur, yang berhubungan dengan pengeluaran dalam pembelajaan harta.[1]
Sofyan bin Uyainah berkata, “Harta yang aku belanjakan bukan dalam ketaatan kepada Allah maka dia termasuk boros sekalipun hal tersebut sedikit.[2] Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
  Katakanlah: "Hai hamba-hamba -Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Zumar: 53)
  Kalimat isrof bisa terjadi pada harta dan yang lainnya, Allah SWT memperingatkan hamba -Nya dari sikap boros dalam firman-Nya:
وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
  “Dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-‘Arof: 31)
 Sebagian ulama salaf berkata, “Allah telah mengumpulkan pola hidup sehat dalam setengah ayat: وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُو     
                     [3]
  Allah SWT berfirman:
وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
  “…dan tunaikanlah haknya di hari saat memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am: 141)
 Atho’ bin Abi Robah berkata “Mereka dilarang berlaku boros dalam segala hal.[4]
  Ibnu Katsir berkata, “yang artinya janganlah berlebihan dalam makan, sebab akan bisa membahayakan bagi akal dan badan”.[5]
   Dari Amr bin Syu’aib daru bapaknya dari kakeknya  RA bahwa Nabi bersabda, “Makan dan bersedeqahlah dan pakailah pakaian tanpa berlebihan dan     sombong”.[6]
  Dari Ibnu Abbas RA berkata: Makanlah sekehendakmu dan pakailah sekehendakmu, dua perkara yang membuatmu salah yaitu boros dan sombong”.[7]
Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib RA bahwa Nabi bersabda, “Tidaklah seorang anak Adam mengisi sebuah bejana yang lebih buruk daripada  perut,  cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika mesti dilakukan maka hendaklah dia mengambil sepertiga untuk makanannya dan sepertiga untuk minumannya serta sepertiga untuk nafasnya”.[8]
Dan sebagian ulama membedakan antara boros dan berlebihan/melampaui batas. Dan pola berlebih-lebihan yang dilarang oleh syara’ di dalam firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isro’: 27)
  Mereka berkata, “Tabzir adalah mempergunakan harta bukan pada tempatnya, seperti penyaluran harta dalam kemaksiatan, atau menyalurkannya pada perkara yang tidak bermanfaat baik untuk bermain-main, meremehkan fungsi harta, sementara Isrof (Boros) adalah berlebihan dalam makan dan minum serta berpakaian tanpa dituntut kebutuhan. Allah SWT berfirman saat memuji hamba -Nya yang bersikap sederhana:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
  Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan sesungguhnya  (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqon: 67)
  Ibnu Katsir rahimahullah berkata:          
 mereka tidak boros dalam memanfaatkan harta sehingga berbelanja melebihi kebutuhan dan tidak pula kikir terhadap keluarga mereka sehingga mengurangi hak-hak mereka, tidak memberikan kecukupan bagi mereka, namun mereka berlaku adil dan bertindak yang terbaik, dan sebaik-baik perkara itu adalah yang pertengahan, tidak berlebih-lebihan”.[9]
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا
  Dan janganlah kamu jadikan tanganmu belenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena hal itu memebuat kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al-Isro’: 29)
Inilah bentuk wujud sikap pertengahan yang diperintahkan, tidak kikir, tidak menahan, tidak berlebihan dan boros namun yang seharusnya adalah pertengahan di antara semua sikap ekstrim di atas. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah SWT memerintahkan agar seseorang bersikap  sederhana di dalam kehidupan duniawinya, Dia mencela sikap kikir dan melarang sikap boros, (لاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ) Maksudnya adalah janganlah engkau bersikap pelit yang menahan harta, tidak memberikannya kepada seorangpun, (وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ) Maksudnya janganlah berlebihan dalam membelanjakan harta, sehingga pemberianmu terhadap orang melebihi kemampuanmu, dan pengeluaranmu melebihi penghasilanmu, (فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا) sehingga engkau terjebak dalam celaan manusia karena kekikiranmu dan mencercamu, mereka tidak membutuhkanmu, dan pada saat engkau mengulurkan pengeluaranmu di atas kemampuanmu maka dirimu tidak akan memiliki sesuatu yang dapat engkau infakkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu sebuah hewan tunggangan yang tidak mampu lagi berjalan”.[10]
Dari Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Apa yang engkau nafkahkan untuk dirimu, dan keluargamu tanpa ada sikap berlebihan dan boros, dan apa yang engkau shedeqahkan maka hal itu adalah bagimu dan apa yang engkau belanjakan dengan motifasi riya dan sum’ah maka itu adalah bagian dari setan”.[11]
  Ibnul Jauzi berkata, “Orang yang berakal akan mengatur kehidupannya di dunia, jika dia miskin maka dia akan bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berwiraswasta guna menghindarkannya   dari tunduk terhina terhadap makhluk, meminimalisir hubungan (hutang piutang), menciptakan sikap qona’ah, sehingga dengan demikian dia akan selamat dari ketergantungan kepada pemberian orang lain dan hidup dengan citra yang mulia, namun jika dia adalah orang yang kaya maka hendaklah dia mengatur belanjanya, agar dia tidak terjebak ke dalam kefakiran yang mengarahkannya kepada kehinaan bagi seorang  makhluk…”.[12]
  Dan seyogyanya juga dia memperhatikan perkara ini, bahwa mengeluarkan harta dalam kebenaran tidak termasuk boros. Mujahid berkata, “Kalau seandainya seorang menginfakkan hartanya dalam kebenaran maka dia bukan termasuk pemborosan, dan seandainya dia menginfakkan satu mud bukan pada tempatnya maka hal itu termsuk pemborosan”.[13]
  Di antara bentuk pemborosan yang dilakukan oleh masyarakat adalah pemborosan dalam pesta dan resepsi pernikahan serta acara-acara lainnya, baik pesta yang kecil atau besar, ketika makanan  dihidangkan melebihi kebutuhan.
 Di antara bentuk pemborosan adalah pemborosan dalam pemakaian air. Dari Anas RA bahwa Nabi berwudhu’ dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud”.([14])[15]
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Seorang A’rabi datang kepada Nabi dan bertanya kepada beliau tentang wudhu’?. Maka beliau memperlihatkan kepadanya cara berwudhu’ tiga kali, kemudian beliau bersabda, “Inilah wudhu’, maka barangsiapa yang menambah berarti dia telah berbuat buruk, melampaui batas dan berlaku zalim”.[16]
  Bentuk pemborosan lainnya adalah berlebihan dalam membelanjakan harta. Dari Khaulah Al-Anshoriyah berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang lelaki menenggelamkan diri memanfaatkan harta milik Allah bukan pada jalan yang benar, maka mereka mendapat balasan neraka pada hari kiamat”.[17]
Termasuk di dalam hadits ini adalah orang yang bepergian ke negara-negara kafir, mereka membelanjakan harta yang banyak dalam rangka rekreasi mereka tersebut, maka dengan melakukan hal tersebut mereka telah mengumpulkan dua kemaksiatan:
Pertama: Kemaksiatan bepergian ke negara-negara orang kafir dan Nabi telah melarang perbuatan tersebut.
Dari Jarir RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah orang musyrik…….”.[18]
Kedua: Menyokong negeri-negeri kafir dengan harta yang telah dibelanjakan pada saat itu.
Dari Abi Barzah AL-Asalmi RA bahwa Nabi bersabda, “Tidak akan melangkah dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dirinya akan ditanya oleh Allah SWT tentang umurnya untuk apa umur tersebut dia habiskan? tentang ilmunya apakah yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut, tentang hartanya dari manakah dia dapatkan dan kemanakah disalurkannya”.[19] Dan banyak lagi bentuk-bentuk pemborosan lainnya.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Four General or World Philosophies

THE NOTION OF MURABBI IN ISLAM: AN ISLAMIC CRITIQUE OF TRENDS IN CONTEMPORARY EDUCATION

Modal and Modal Perfect